Sabtu, 31 Mei 2008

KBK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Guru ( pendidik) merupakan factor penting dalam proses pembelajaran, karena guru yang akan berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Melalui guru pula ilmu pengetahuan dapat ditransferkan. Dalam lingkup lebih luas lagi guru merupakan factor penting dalam implementasi kurikulum, disamping kepala sekolah dan tenaga administrasi.

Dalam proses pelaksanaan kurikulum dalam hal ini proses pembelajaran, guru juga memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Untuk itu terdapat pengklasifikasian guru. Terdapat guru yang menjalankan tugas dan tanggung jawab secara professional, dan ada pula guru yang kurang mampu bekerja secara professional.

Selama periode penerapan kurikulum 1968, hingga kurikulum 1994, guru tidak mendapatkan motifasi penuh untuk mengembangkan kualitas dalam mengajar. Karena guru dianggap berhasil jika telah merampungkan seluruh materi selama satu semester / satu caturwulan tanpa memperhatikan proses dan hasil pengajaran.

Setelah tahun 2000, dengan disusunnya dan diberlakukan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) kualitas guru lebih dikembangkan, dalam implementasinya kualitas guru dapat ditinjau dari 2 segi, yakni segi proses dan dari segi hasil[1]. Di dalam implementasi KBK guru berperan dalam menerapkan ide, konsep dan kebijakan kurikulum dalam aktivitas pembelajaran, ssehingga anak didik mencapai / menguasai kompetensi tertentu.

Ditinjau dari historis perubahan kurikulum hingga lahirnya KBK, untuk menemukan konsep dan ide kurikulum yang di anggap sempurna, melalui perjalanan cukup panjang dan mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman. Dilihat dari tahun 1968 dan 1975, kurikulum bersifat sentralisasi, artinya kurikulum berlaku unruk satu jenis pendidikan di seluruh Indonesia, dan guru hanya berperan sebagai pelaksana di sekolah. Pada tahun 1984 kurikulum mengalami sedikit perubahan dengan disisipkannya muatan local pada berbagai bidang studi yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan pada pelaksanaan kurikulum 1994, tampak pada penggunaan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik wajib maupun pilihan, sehingga bobot muaran local lebih besar.

Dalam pengembangan selanjutnya, kurikulum 1994 dilihat memiliki berbagai kelemahan, karena hanya mengutamakan penguasaan ilmu pengetahuan (kognitif) tanpa menyentuh ranah efektif & psikomotorik, maka tahun 2000 dikembangkanlah kurikulum yamg telah menekankan pada penguasaan kompetensi yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dan KBK ini hanya diimplementasikan selama kurang lebih dua tahun, pada tahun 2006 dikembangkan lagi kurikulum yang merupakan penyempurnaan KBK yang lebih memotovasi guru untuk lebih kreatif dan mengembangkan kualitasnya, kurikulum yang dicanangkan tanggal 23 mei 2006 akan diberlakukan tahun 2007 ini dikenal dengan nama kurikulum tingkat satuan pengajaran (KTSP).

Penyempurnaan dan perubahan kurikulum tersebut tentu saja mengasah pada upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dan dalam implementasinya kualitas guru dalam hal profesionalisme dalam menjalankan peran, tugas adan tanggung jawabnya sangat diperlukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, diangkat dan dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

  1. Mengapa harus kurikulum berbasis kompetensi ?
  2. Asumsi dasar apa diterapkannya KBK pada seluruh jenis dan jenjang pendidikan ?
  3. Apa muara dari KBK ?
  4. Apa perbedaan kurikulum konvensinal dan KBK ?
  5. Bagaimana kualifikasi guru dalam implementasi KBK ?

Permasalahan diatas akan dibahas pada Bab selanjutnya pada tulisan ini .


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kurukulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Pergeseran sentralisasi dalam pengelolaan pendidikan merupakan upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya melaluipenyempurnaan kurikulum.

Dan pada tahun 2000 diberlakukanlah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai wujud penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. KBK dianggap lebih sempurna, karena memiliki beberapa keunggulan, pertama, pendekatannya bersifat alamiyah (kontektual), karena berangkat, terfokus, dan bermuara pada hakikat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai potensinya masing-masing. Kedua, KBK mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain, seperti penguasaan keilmuan dan keahlian dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, adan pengembangan aspek kepribadian, ketga, ada mata pelajaran yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi,terutama berkaitan dengan keterampilan[2].

Melihat keunggulan tersebut, diharapkan KBK adeapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

1. Pengertian KBK

Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpilar dan bertindak. Jadi kompetensi bisa diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diakui oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, efektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Finch & Crunkiton (1979 :222) juga mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.[3]

Dari pengertian kompetensi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kompetensi itu menunjukkan mencakup tugas, keterampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran yang sesuai dan jika kompetensi sudah dikuasai peserta didik harus dapat dinyatakan sedemikian rupa agar bisa dinilai, sebagai wujud dari hasil belajar peserta didik terhadap pengalaman langsung. Selain itu peserta didik juga perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkatan-tingkatan penguasaan sebagai criteria pencapaian secara eksplisit, serta memiliki kontri busi terhadap komppetensi yang sedang dipelajari.

Sedangkan DepDikNas mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan kebiasaan berfikir dan bertindak. Karena kebiasaan berfikir dan bertindak yang konsisten dan kontinu memungkinkan seseorang kompeten.

Berdasarkan pengertian diatas, maka kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.

Adapun aspek atau ranah yang te4rkandung dalam kompetensi tersebut adalah ranah pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), kemampuan (skill), nilai (value), sikap (attitude), dan minat (interest)[4].

Pengetahuan yang dimaksud disini adalah kesadaran dibidang kognitif; pengertian yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh siswa; keterampilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melakukjan tugas yang diberikan, dan nilai adalah norma / standar yang telah diyakini dan menyatu dalam diri individu, keinginan yang berkelanjutan, dan orientasi psikologi.

2. Tujuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang secara makro yakni untuk membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu mengguanakan nalar, berkemampuan komunikasi social yang positif dan memiliki sumber daya manusia yang sehat dan tangguh[5]. Maka adanya pengembangan kurikulum ke KBK adalah upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia. Melalui reformasi sekolah dalam dengan partisipasi ortu, kerjasama dengan dunia industiri, ketentuan pengelolaan sekolah, profesionalisme guru, hadiah, dan hukuman sebagai control dan lain-lain.

Selain itu, karena kurikulum pada dasarnya merupakan rencana / program tertulis untuk mencapai tujuan pendidikan yang diterapkan langsung dalam system pendidikan di lembaga pendidikan maka KBK bertujuan untuk membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.

Dan melihat dari aspek histories jelas bahwa KBK dengan berbagai keunggulannya bertujuan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Sedangkan meninjau adari ranah yang terkandung dalam KBK, maka KBK diharapkan mampu mengembangkan kemampuan anak, bukan hanya aspek kognitif, tetapi sampai pada ranah avektif dan psikomotorik.

Dengan demikian, maka tujuan pendidikan nasional secara micro dapat tercapai, terutama dalam hal pembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa dan beretika karena dalam KBK pada aspek efektifnya menekankan pada kompetensi sebagai berikut; siswa memiliki keimanan dan ketaqwaan terhadap tuhan yang maha Esa sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing, memiliki nilai-nilai etika dan estetika, dan memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora.

Adapun tujuan umum KBK adalah memandirikan atau memperdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik, sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan otonomi sekolah diharapkan dapat melakukan pengambilaqn keputusan secara parsitipatif.

B. Asumsi Dasar Diterapkan KBK Pada Semua Jenis dan Jenjang Pendidikan.

KBK merupakan program pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan khususnya merancang pendidikan yang berdasarkan kebutuhan nyata dilapangan terkait dengan “gerakan peningkatan mutu pendidikan” yang dicanangkan oleh mendiknas tanggal 21 mei 2002[6].

KBK diterapkan sebagai acuan bagi pelaksanaan pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan dalam seluruh jenjang pendidikan dan jalur pendidikan, khususnya jalur pendidikan sekolah.

Dan dalam KBK terdapat asumsi yang mendasari KBK, adapun asumsi tersebut merupakan parameter untuk menentukan tujuan dan kompetensi yang akan dispesifikasikan. Asumsi tersebut sebagai berikut :

Pertama, banyak sekolah yang memiliki sedikit guru professional dan tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal. Oleh karena itu perlu peningkatan professional guru.

Kedua, banyak sekolah yang hanya mengoleksi sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.

Ketiga, pendidik bukanlah kertas putih bersih yang dapat ditukis sekehendak guru, tapi memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Pengembangan potensi tersebut menurut iklim kondusif yang dapat mendorong peserta didik belajar bagaimana belajar (learning how to learn),serta menghubungkan kemampuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi, serta memiliki tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.

Kelima, pendidikan berfungsi menkondisikan lingkungan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal.

Keenam, kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik, yang mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Ketujuh, kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensinya secara optimal[7].

C. Muara Kurikulum Berbasis Kompetensi

KBK pada hakikatnya bermuara pada hakikat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan kompetensinya masing-masing, jadi dalam proses pembelajaran peserta didik adalah subjek, sehingga berlangsung alamiyah dalam bentuk bekerja dan berdasarkan standar kompetensi tertentu, bukan hanya sebagai transfer pengetahuan (transfer of knowledge).

Jadi dalam pengembangan KBK sangat ditekankan pada tercapainya penguasaan akademis, pembentukan pribadi, keterampilan dalam hal tertentu, dan orientasinya pada pelaksanaan evaluasi, apakah kompetensi yang diharapkan dapat tercapai.Muara seperti ini berupaya mendukung dan membekali peserta didik untuk menjalani hidup dimasa sekarang dan masa yang akan datang.

Dalam pencapaian tersebut, maka diadakan perubahan dalam proses pembelajaran, seperti pembelajaran menekankan apada kegiatan individual dan memperhatikan perbedaan peserta didik, diupayakan terbentuknya lingkungan belajar yang kondusif, dan diberikan waktu yang cukup.

D. Perbedaan Kurikulum Konvensional dan KBK

Kurikulum Konvensional disini adalah kurikulum yang masih terpusat pada ketetapan pemerintah pusat (system sentralisasi), disini diberi contoh kurikulum 1994. Sedangkan KBK yaitu kurikulum yang mana pemerintah pusat memberikan wewenang kepada sekolah untuk menentukan hal-hal lain kecuali standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pokok serta standar kelulusan.

Untuk melihat perbedaan diantara keduanya dapat dikaji dari berbagai aspek, aspek itu antara lain :

a. Aspek Filosofis

Konvensional (1994):Struktur keilmuan yang hasilnya berupa materi pelajaran

KBK : Kompetensi lulusan, Standar Kompetensi, struktur keilmuan karakteristik bidang studi, perkembangan psikologi siswa, standar kompetensi negara lain, perkembangan dan tuntutan masyarakat.

b. Aspek Tujuan

Konvensional (1994) : siswa menguasai materi pelajaran, bahan ajar berdasarkan pada TIU dan TIK, tujuan berdasarkan pada tujuan intruksional, menyiakan siswa ke jenjang perguruan tinggi.

KBK : siswa mencapai kompetensi tertentu, bahan ajar memanfaatkan sumber daya di dalam dan di luar sekolah, memberikan bekal akademik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

c. Aspek Materi Pembelajaran

Konvensional (1994) : materi pembelajaran ditentukan pemerintah, materi sama untuk semua sekolah, target guru menyampaikan semua materi, focus pada aspek kognitif, disusun berdasarkan TIU dan TIK

KBK : Materi pelajaran ditentukan oleh sekiolah berdasarkan standar kompetensi dasar, pusat hanya menetapkan materi pokok, target guru memberikan pengalaman belajar untk mencapai kompetensi, focus pada kognitif, psikomotorik da afektif, disusun berdasarkan karakteristik mata pelajaran.

d. Aspek Proses Pembelajaran

Konvensional (1994) : bersifat klasikal dengan tujuan menguasai materi pelajaran, pembelajaran cendrung di kelas, pembelajaran mengajar target menyampaikan materi.

KBK : Bersifat individual, guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai subjek didik, metode bervariasi, pembelajaran berdasarkan pada kompetensi dasar, ada program remedial dan pengayaan.

E. Kualifikasi Guru Dalam Implementasi KBK

Dalam implementasi konsep KBK didalam proses pembelajaran guru memiliki peranan penting. Karena seorang guru yang akan mengembagkan kompetensi dasar, standar kompetensi dan materi pokok yang ditetapkan, dengan jalan penentuan indicator pencapaian, strategi yang tepat dan alokasi waktu, serta evaluasi yang baik.

Dengan diterapkannya KBK, tidak jarang guru yang masih kebingungan dalam menyusun satuan pembelajaran atau rencana pembelajaran. Sehingga terkadang guru belum menjalankan peran, tugas dan tanggung jawabnya secara professional.

Sehingga dalam implementasi KBK dikenal pengkualifikasian guru, sebagai berikut :

  1. good teacher adalah guru yang memiliki karakteristik profesional adari segi fisik, keilmuan, dan keterampilan, namun dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabya belum bermuara pada keberhasilan pada peningkatan prestasi anank didik. Baik yang kognitif, efektif, maupun psikomotoriknya. Dilihat dari sudut bahasa, jelas bahwa good teacher adalah guru yang dapat dinilai dari segi profil.
  2. a successful teacher, adalah guru yang berhasil dalam pembelajaran. Guru tersebut mampu dan berhasil memperhatikan perbedaan individual peserta didik, mampu memberi motifasi belajar peserta didik; dan meningkatkan prestasi peserta didik
  3. an affective teacher, adalah guru yang dapat mengimplementasikan secara efektif, adan memiliki kualitas yang dapat ditinjau dari dua segi proses dan hasil.

Guru dikatakan berhasil dari segi proses jika mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun social dalam pembelajaran, sedangkan dari segi hasil, dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampuy mengadakan perubahan perilaku pada sebagian besar peserta didik kearah yang lebih baik.[8]

Berikut karakteristik guru yang sukses mengajar secara efektif adalah sebagai berikut :

§ respek dalam memahami dirinya, adan dapat mengontrol emosi (diri)

§ antusias dan bergairah terhadap bahan, kelas, dan seluruh pengajarannya

§ berbcara dengan jelas dan komunikatif

§ memperhatikan perbedaan individual siswa

§ memiliki banyak pengetahuan, inisiatif, kreatif dan banyak akal

§ menonjolkan diri

§ menjadi teladan bagi siswanya

Sedangkan pada ketetapan departemen pendidikan nasional; melalui P3G, dirumuskan kompetensi guru dalam 3 kompetensi sebagai berikut :

1. Kompetensi professional

Guru merupakan suatu jawaban profesi, jadi dalam melaksanakan fungsi dan tujuan di sekolah harus memiliki kompetensi ayang dituntut agar mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

2. Kompetensi personal

Mempunyai arti bahwa guru harus memiliki kepribadian yang luhur sehingga patut diteladani, dan ditiru

3. Kompetensi sosial

yaitu bahwa seorang guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid, maupun dengan sesame teman guru, dengan kepala sekolah, dengan tatausaha, serta dapat berkomunikasi, dengan masyarakat sekitarnya terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan.

Adapun yang menjadi imdikator kompetensi guru profesional, adalah:

  1. mampu mengembangkan tanggung jawabdengan sebaik-baiknya
  2. mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil
  3. mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (intruksional) sekolah
  4. mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar dalam kelas[9]

Adapun tanggung jawab guru meliputi pertama, tanggung jawab moral, yakni kemampuan menghayati mengamalkan pancasila dan bertanggung jawab mewarisi moral pancasila serta UUD 1945 kepada generasi muda :

Kedua, tanggung jawab bidang pendidikan, yakni melaksanakan tanggung jawab tersebut, guru harus mampu menguasai cara belajar efektif, membuat SP, memahami kurikulum, dll.

Ketiga, tanggung jawab dalam bidang kemasyarakatan yakni bertanggung jawab memajukan persatuan dan kesatuan bangsa, menyukseskan pembangunan nasional dandaerah. Dalam hal ini guru harus mampu menguasai hal yang bertalian dengan kehidupan nasional.

Sedangkan dari segifungsi dan peranannya, adalah pertama guru sebagai pendidik danpebngajar, untuk itu ia harus memiliki kestabilan emosi, rasa tanggung jawab besar untuk memajukan anak didik, bersikap realistis, jujur, terbuka, dan peka terhadap perkembangan. Selain itu juga harus memiliki pengetahuan luas, menguasai bahan pelajaran, menguasai teori dan praktek mendidik,teori kurikulum dan metode, tekhnologi pendidikan teori evolusi dan psikologi belajar, dsb.

Kedua, guru sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki keterampilan dalam hal bekerja sama dalam kelompok dan keterampilan adan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.

Ketiga, guru sebagai pemimpin, harus memiliki kepribadian seperti sehat, percaya diri, memiliki daya kerja keras dan antusias, bersikap objektif, menguasai emoosi dan adil. Juga perlu menguasai teori kepemimpinan, dinamika kelompok, prinsip-prinsip hubungan masyarakat, teknik komunikasi, dan seluruh aspek kegiatan organisasi persekolahan.

Keempat, guru sebagai pelaksana administrasi ringan, guru harus memenuhi syarat kepribadian, seperti rajin, teliti, dan harus menguasai ilmu tentang administrasi.


DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa, E, 2005, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Mujid, Abdul dan Dian Andayani, 2005,Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konesep dan Implementasi Kurikurum 2004, Bandung: Rosda Karya,

Hamalik, Oemar, 2004, Pendidikan guru; Berdasarkan Pendekatan Kompetensi; Jakarta: Bumi Aksara



BY : MUHAMMAD RIZAL

STAIN SAMARINDA ANGKATAN 2004



[1]E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya, (cet: VII, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 187

[2] Abdul Mujid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi; Konesep dan Implementasi Kurikurum 2004, (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 55

[3] E.Mulyasa, Op,cit. h 38

[4] Abdul Mujid, Op,cit. h. 51

[5] E.Mulyasa, Op,cit, h 21

[6] Ibid, h. 31

[7] Bid, h. 56-57

[8] E. Mulyasa, Op.cit. 187

[9] Oemar Hamalik, Pendidikan guru; Berdasarkan Pendekatan Kompetensi; (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). hlm 38

Perjalanan Kurikulum Nasional (dari Kurikulum 1947-1994, KBK, sampai KTSP)

Kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah "melakukan perubahan", tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan Kita:

SELAYANG PANDANG

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat

berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

RENCANA PELAJARAN 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum(bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. "Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran," kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang,Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikandasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

KURIKULUM 1968

Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja," katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

KURIKULUM 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. "Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu," kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

KURIKULUM 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat KurikulumDepdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta -- sekarang Universitas Negeri Jakarta -- periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar,dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. "Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses," kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlaluberat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

KURIKULUM 2004

Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah

menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

KTSP 2006

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:

1. standar isi,

2. standar proses,

3. standar kompetensi lulusan,

4. standar pendidik dan tenaga kependidikan,

5. standar sarana dan prasarana,

6. standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan

7. standar penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan. Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepadamengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan

pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuahsubject matter), yaitu:

1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar,kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.

Kamis, 29 Mei 2008

ilmu perbandingan agama

ILMU PERBANDINGAN AGAMA

(Isi, Perkembangan, dan Manfaatnya bagi seorang Muslim)


ABSTRAK

Akhir-akhir ini banyak para cendekia yang kurang memahami Ilmu Perbandingan Agama, sehingga mereka menghakimi bahwa IPA merupakan ilmu yang sesat, dan mendangkalkan aqidah. Melihat fenomena tersebut penulis merasakan keresahan intelektual sehingga mengkaji secara mendalam tentang IPA, yang dalam makalah ini penulis akhirnya menyimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan menggunakan beberapa metode ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis, religio-scientific atau scientific-cum-doktrinair). Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah.

Kata Kunci: IPA, keunggulan Islam, kerukunan

Pendahuluan

Ilmu Perbandinghan Agama (IPA) sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami IPA sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama lain. Padahal tujuan dari IPA bukan sekedar membanding-bandingkan, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira bahwa tugas IPA adalah menilai kesalahan-kesalahan agama lain. Padahal menilai kesalahan-kesalahan agama lain bukanlah tugas dari IPA, tetapi tugas dari Ilmu Kalam atau Teologi Islam. Kedua, seseorang dengan apriori mengangap bahwa IPA mendangkalkan aqidah. Sebab seseorang mengira bahwa dengan mempelajari IPA akan mengurangi keyakinan agama Islam. Padahal justru dengan mempelajari IPA seorang Muslim akan semakin menemukan mutu-manikam keunggulan ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama lain. Mutu-manikam keunggulan ajaran Islam kurang tampak kalau tidak dibandingkan dengan ajaran agama lain, tetapi justru tampak cemerlang setelah dibandingkan dengan ajaran agama lain.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam karangan ini akan dikaji Ilmu Perbandingan Agama secara seksama meskipun dengan ringkas. Dengan demikian dapat mengurangi atau menghilangkan beberapa sakwasangka tentang Ilmu Perbandingan Agama. Oleh karena itu pada karangan ini secara singkat akan dibahas pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama, obyek Ilmu Perbandingan Agama, metode-metode Ilmu Perbandingan Agama, perkembangan Ilmu Perbandingan Agama, dan manfaat Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.

Ilmu Perbandingan Agama.

1. Pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama.

Ilmu Perbandingan Agama adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan (kesejajaran) dan perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan manusia dapat dipelajari dan dinilai ( Ali, 1975: 5).

Di samping nama Ilmu Perbandingan Agama, ada beberapa nama lain dari Ilmu perbandingan Agama. Nama-nama tersebut antara lain: Allgemeine Religionswissenschaft, Science of Religions, The History of Religions, Comparative Studies of Religion, Phenomenology of Religion, Historical Phenomenology, The Study of World Religions dan The Comparative Study of Religions (Daya dan Beck, 1990: 57), Systematic Science of Religion (Daya dan Beck, 1992: 30), Vergleichende Religionswissenschaft (Daya dan Beck, 1992: 165), Ilmu Agama-agama (Daya dan Beck, 1990: 28), Ilmu Agama, Sejarah Agama, Fenomenologi Agama (Daya dan Beck, 1990: 126). Dari beberapa nama tersebut nama Phenomenology of Religion dan Fenomenologi Agama kadang-kadang digunakan untuk nama suatu bidang studi tertentu yang lebih sempit cakupannya dari studi Ilmu Perbandingan Agama, yaitu mengkaji agama dengan metode fenomenologis saja.

Berdasarkan nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan Agama di atas, jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis, fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah atau scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah dibahas mengenai metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.

2. Obyek Ilmu Perbandingan Agama

A. Mukti Ali, seorang pakar Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundmental dan universal dari tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat fundamental dan universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama tentang Tuhan? Apakah konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi agama tentang dosa dan pahala? Apakah hubungan kepercayaan dengan akal? Bagaimanakah hubungan antara agama dengan etika? Apakah fungsi agama dalam masyarakat? dsb. ( Ali, 1975: 7).

Berbeda dengan A. Mukti Ali, Joachim Wach dari sudut pandang yang lain, berpendapat bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pengalaman agama. Menurut Joachim Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa. Pengalaman agama mempunyai beberapa kriteria tertentu. Kriteria pertama, pengalaman agama merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Kedua, pengalaman agama merupakan tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak. Ketiga, pengalaman agama merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam dari manusia. Keempat, pengalaman agama merupakan pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung imperatif, menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan (Wach, 1969: 31-36). Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau diungkaplan dalam tiga ekspresi, yaitu: a. pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran. b. pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan. c. pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok (Wach, 1969: 97). Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran terutama berupa mite, doktrin, dan dogma. Pengalaman agama ini dapat berbentuk symbol, oral, dan tulisan. Tulisan-tulisan bisa berupa kitab suci dan tulisan klasik Untuk keperluan memahami kitab suci diperlukan literature yang sifatnya menjelaskan, misalnya Talmud, Zend dalam Pahlevi, Hadis dalam Islam, Smrti di India, tulisan-tulisan Luther dan Calvin dalam Protestan. Agama-agama besar juga mempunyai credo, yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, syahadat dua belas dalam Kristen, dua syahadat dalam Islam, dan shema dalam Yahudi. Adapun tema yang fundamental dalam pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran adalah Tuhan, kosmos, dan manusia (Teologi, kosmologi, dan antropologi). Selanjutnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan berupa kultus (peribadatan) dan pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap Realitas Mutlak harus dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan oleh siapa? Apakah ibadah itu harus dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah? Termasuk dalam uangkapan perbuatan ini adalah kurban dengan segala seluk-beluknya. Termasuk dalam pembahasan ini adalah maslah imitation, yaitu mencontoh tingkah laku dan kehidupan seorang pemimpin agama. Termasuk dalam pembahasan ini adalah keinginan supaya orang lain juga beragama seperti dia, yaitu masalah missionary atau dakwah. Akhirnya pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok berupa kelompok-kelompok keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha). Di sini dibahas juga masalah hubungan antara orang yang beragama dengan masyarakat umumnya, bahasa yang dipergunakan dalam pergaulan mereka baik antar-agama maupun intra-agama sendiri, fungsi, kharisma, umur, seks, keturunan, dan status (Ali, 1993: 79-81).

Ketiga ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran, tindakan, dan kelompok) yang menjadi obyek Ilmu Perbandingan Agama meliputi semua agama yang ada dan aliran-alirannya.

Kedua pandangan di atas dapat digabungkan sebagai obyek Ilmu Perbandingan Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan universal bagi setiap agama dan pengalaman agama, keduanya merupakan aspek-aspek penting dari obyek Ilmu Perbandingan Agama.

3. Metode-metode Ilmu Perbandingan Agama.

Ada beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut ialah:

a. Metode Historis.

Dalam metode ini agama dikaji dari segi atau aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang satu dengan agama lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan lembaga-lembaga agama melalui periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta memahami peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode tersebut (Wach, 1969: 21).

Agama yang dikaji dalam metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji aliran-aliran tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu agama dalam periode tertentu dalam sejarah (Jongeneel, 1978: 49).

Bahan dalam kajian in biasanya mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat literer (filologis) atau non-literer (arkeologis) (Jongeneel, 1978: 51).

Beberapa contoh kajian histories misalnya kajian C.J. Bleeker dan G. Widrengen dalam bukunya Historia Religianum, Handbook for the History of Religious. R.J.Z. Werblowsky dalam bukunya Histoire des Religions. Ugo Bianchi dalam bukunya La Storia delle Religioni. J.P. Asmussen dan J. Laessoe dalam bukunya Handbuch der Religiongeschichte. H. Ringgren dan A.V. Strom dalam bukunya Religious of Mankind. Today and Yesterday. T.O. Ling dalam bukunya History of Religion East and West. E. Dammann dalam bukunya Grundriss der Religionsgeschichte, dan S.A. Tokarev dalam bukunya Die Religion in der Geschichte der Volker (Whaling, 1984: 57-63).

Para sarjana yang mempergunakan metode historis ini antara lain: C.J. Bleeker, G. Widrengen, A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M. Muller (Jongeneel, 1978: 59).

b. Metode Sosiologis.

Dalam metode ini dikaji problem-problem agama dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya; pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama, golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya, dsb.); pengaruh gejala-gejala kemasyarakatan (mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dsb.) terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik, ekonomi, hubungan-hubungan sosial, dsb. (Jongenel: 1978: 68-69).

Beberapa contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile Durkheim bentuk dan macam totem tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam kajian lainnya ia menghubungkan antara gejala bunuh diri dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya gejala bunuh diri di kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan Protestan. Hal itu terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak tergantung pada tradisi, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya dapat diselesaikan melalui tradisinya. Sedang di kalangan Protestan lebih bersifat individual, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan secara individual.

Contoh lainnya misalnya kajian Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism tentang hubungan antara ajaran etik Protestan dengan sikap kapitalis (Nottingham, 1985: 136-137). Renato Poblete SJ dan F. O’Dea dalam penelitiannya pada para imigran Puerto Rico di New York dengan judul “Anomie and the Quest for community,” The Formation of Sects among the Puerto Ricans of New York,” menjelaskan bahwa konversi pemeluk Gereja Katolik ke gereja Pentecostal bermotif pembebasan dari krisis sosial dan situasi anomi yang menimbulkan krisis batin (Hendropuspito, 1986: 85-86).

Beberapa sarjana yang menggunakan metode sosiologis antara lain: Joachim Wach, Milton Yinger, G. Le Bras, Gustav Mensching, (Jongeneel, 1978: 69), Fustel de Coulangers, Emile Durkheim, Max Weber, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler (Wach, 1969: 23).

c. Metode psikologis.

Di sini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun kelompok (Wach, 1969: 23). Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa manusia (Jongeneel, 1978: 86). Kajian psikologis ini meliputi masalah arketipus, symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman, pertobatan, revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri, kelepasan, askese, kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi, ekstase, orang-orang introvert agama, orang-orang ekstrovert agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati, neurose, dsb

Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis misalnya: kajian agama yang dilakukan oleh J. M. Charcot dan P. Janet. Mereka menyimpulkan bahwa agama dapat dijabarkan terutama kepada neurose dan histeri. Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala dari tahun-tahun masa kecil yang hidup terus dalam kedewasaan, suatu ketidakdewasaan yang kolektif, suatu simtom neurotis, suatu impian, suatu illusi. W. Wund berpendapat bahwa agama ditinjau dari segi asal-usulnya merupakan gejala yang berhubungan dengan kehidupan jiwa bangsa, bukan kehidupan jiwa individu. William James menyimpulkan bahwa orang healthy minded soul dapat mengembangkan diri secara selaras, sedang orang yang sick soul bersifat pesimistis dan bertabiat melankolis (Jongeneel, 1987: 88-89). Gordon Allport membagi masyarakat religius ke dalam tipe instrinsik dan ekstrinsik. Starbuck mengkaji tentang fenomena konversi keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang konversi keagamaan juga tentang pengalaman mistik (Connolly, 2002: 192, 196).

Beberapa sarjana yang mengkaji agama secara psikologis antara lain S. Freud, W. James, Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox, Ribot, Janet, Smityh and Fowler, Vande Kemp, dsb. (Whaling, 1984: 27-36).

d. Metode Antropologis.

Metode ini memandang agama dari sudut pandang budaya manusia. Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia (Harsojo, 1984: 221). Biasanya metode ini berjalan sejajar dengan aliran-aliran yang ada dalam antropologi. Misalnya aliran evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme (Daradjat at. all., 1983: 56-60).

Contoh dari penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi asal-usul agama adalah animisme. Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya The Making of Religion menyimpulkan bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada dewa yang tertinggi. Akhirnya James Frazer dalam bukunya The Golden Bough menyimpulkan bahwa magi merupakan agama yang tertua. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion menyimpulkan bahwa pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa (Koentjaraningrat,1980: 46-61).

Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode antropologis antara lain: Edward B. Tylor, Andrew Lang, James George Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt, Arnold vn Gennep, Bronislaw Malinowski, Robert H. Lowie (Waardenburg, 1973: xi, xiii).

e. Metode Fenomenologis.

Metode ini mengkaji agama dari segi essensinya. Dalam metode ini pengkaji agama berusaha mengenyampingkan hal-hal yang bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa yang difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama.

Cara kerja metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan dan melukiskan gejala agama dan gejala-gejala agamani tersendiri (tertentu), dengan tidak memberikan penilaian tentang nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama tersendiri (tertentu), tetapi menyerahkannya kepada filsafat agama dan teologi sistematis. Filsafat agama akan menilainya dalam terang akal-budi yang murni, sedang teologi sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi atau Wahyu (Jongeneel, 1978: 106-107).

Contoh dari metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy mengkaji tentang yang kudus (holy) (Otto, !950: vii-viii). Gerardus van der Leeuw dalam bukunya Religion in Essence and Manifestation mengkaji tentang obyek agama, subyek agama dan obyek dan subyek agama dalam hubungannya satu dengan lainnya (Leeuw, 1963: ix-xii). Mariasusai Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion mengkaji bentuk-bentuk primitif agama, obyek agama, agama dan pengungkapannya, pengalaman religius, dan tujuan agama (Dhavamony, 1995: 11-15). Annemarie Schimmel dalam bukunya Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam menkaji hal-hal yang suci dalam Islam: alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat suci, Tuhan dan ciptaan-Nya (Schimmel, 1996: 7).

Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode fenomenologis antara lain: Ninian Smart, G. Widrengen, Friedrich Heiler, Gustav Mensching, W. Brede Kristensen, C.J. Bleeker, R. Otto, dan Gerardus van der Leeuw (Whaling, 1984: 64-67). Di sini tampaklah beberapa sarjana yang di samping mengkaji agama secara fenomenologis juga historis, yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis, karena metode fenomenologis lahir dari ibu kandung metode historis.

e. Metode Typologis.

Metode ini mengkaji agama atau gejala-gejala agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala agama yang ruwet disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam metode ini disusunlah tipe-tipe mistik, teologi, peribadatan, kharisma agama, pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk agama, dsb.

Beberapa sarjana yang menggunakan metode tipologis ini misalnya: Max Weber, Howard Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy, Herder, Hegel (Wach, 1961: 26).

f. Metode Perbandingan atau Komparatif.

Dalam metode ini agama secara umum atau gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada beberapa cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis, perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama sebagai keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di dalam agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan antara perbandingan transkultural dengan perbandingan kontekstual. Dalam perbandingan transkultural perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, struktural, dsb.(Burhanuddin dan Beck, 1992: 53-56).

Beberapa metode di atas biasanya dikenal sebagai metode yang bersifat ilmiah atau scientific. A. Mukti Ali menyatakan bahwa metode ilmiah saja tidaklah cukup untuk mendekati agama, perlu dilengkapi dengan metode lain yang khas agama yaitu metode dogmatis. Oleh karena itu metode yang lengkap unruk mendekati agama adalah sintesis dari metode ilmiah dan dogmatis yang disebut dengan metode religio-scientific atau scientific-cum-doctrinair atau ilmiah-agamis (Ali, 1993: 79).

Berdasarkan beberapa metode yang digunakan dalam Ilimu Perbandingan Agama di atas (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparatif) jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan agama. Ilmu Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang mengkaji agama secara luas yang bersifat ilmiah atau scientific dengan menggunakan berbagai metode (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparativ) dan metode dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis). Metode perbandingan atau komparatif hanyalah merupakan salah satu saja dari metode yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode perbandingan atau komparatif yang digunakanpun lebih luas dari persangkaan orang, yaitu sekedar membanding-bandingkan agama. Metode perbandingan yang dipakai dalam Ilmu Perbandingan Agama lebih luas dari pada itu, yaitu mencakup perbandingan fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya, perbandingan terbatas dan tak terbatas, perbandingan transkultural dan kontekstual, perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, structural, dsb.

Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama.

1. Perkembangan di Dunia Barat.

Di dunia Barat beberapa abad sebelum Yesus lahir, Herodotus (481 SM), beroros (250 SM), Cicero (106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah berbagai agama dan menggambarkan adapt kebiasaan bangsa-bangsa lain yang diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus (55-117 M).

Selanjutnya beberapa penulis Kristen apologis pada abad-abad pertama seperti Aristides telah memberikan interpretasi tentang hubungan antara agama kafir, Yahudi dan Kristen. Berikutnya Clement dari Alexandria (202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri (1241) menulis tentang agama-agama di Eropa Utara.

Marco Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia Tengah pada tahun 1271 dan Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis tentang agama-agama Timur di Eropa pada masa itu.

Pada masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus (1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen agama kafir yang terdapat dalam peribadatan agama Roma Katolik dan ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh Toland dalam bukunya Christianity not Mysterius (1696).

Sejalan dengan semangat Rasionalisme, maka mulailah teori evolusi tentang asal-usul agama, dengan menolak adanya revelation (wahyu). Hal ini tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History of Religion (1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780).

Selanjutnya diikuti dengan penelitian agama yang historis dari Duperon tentang agama Persia; William Jones tentang agama Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir Lama; Rask tentang agama Persia dan India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya menulis tentang agama Babilonia. Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang pertama yang menciptakan istilah “Comparative Study of Religion.”

Setelah itu ilmu baru ini mendapat sambutan yang hangat di berbagai Universitas di Barat. Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya di Belanda, Switzerland, Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika. Setelah itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa konggres internasional ( Ali, 1975: 11-14).

Namun Ilmu Perbandingan Agama dalam arti yang sebenarnya lahir pada saat Max Muller (1823-1900) menulis beberapa karangannya tentang agama-agama. Oleh karena itu Max Muller dapat disebut sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama.

Ilmu Perbandingan Agama di Barat dapat berkembang dengan baik karena didukung oleh suasana dan semangat ilmiah yang baik dan dana yang memadai.

2. Perkembangan di Dunia Islam.

Cukup menarik bahwa di dunia Islam karangan atau tulisan tentang perbandingan agama terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu bumi dan sejarah. Misalnya tulisan agama-agama lain terdapat di dalam Kitab ad-Din wad-Dawlah karangan Ali ibn Sahl Rabban at-Thabari. Namun harus diakui bahwa beberapa tulisan tersebut bersifat apologis.

Selanjutnya pada abad ke-11 tampillah Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.

Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab Al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.

Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya Al-Ajwibah al-Fakhirah an al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan Ameer Ali.

Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Kitab-kitab yang membahas tentang agama lain banyak yang tidak orisinil sumbernya. Sedikit yang orisinil dan itupun hanya mengenai agama Kristen. ( Ali: 1975: 15-19).

Di samping itu dunia Islam lebih mementingkan pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman (‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadis, Ilmu Kalam, Fiqih, Tasawuf, dsb.) dan dakwah, dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu agama yang bersifat empiris. Patut diperhatikan juga bahwa pada abad ke-19 beberapa Negara Islam dalam cengkeraman penjajahan Negara Barat, sehingga perhatian dipusatkan untuk pembebasan atau kemerdekaan negaranya dari penjajahan.

3. Perkembangan di Indonesia

Di Indonesia Ilmu Perbandingan Agama mulai diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961, atau satu tahun setelah berdirinya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1964 terbitlah buku pertama tentang Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali dengan judul Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Setelah seperempat abad lamanya belum terbit lagi buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema. Baru pada tahun 1986 terbitlah buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema yang dikarang oleh pengarang yang sama (Dr. A. Mukti Ali) dengan judul Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.

Memang selama seperempat abad itu telah terbit beberapa karangan yang membahas tentang perbandingan agama, tetapi kalau dibaca secara sekasama tampaklah bahwa uraian-uraiannya masih berbersifat apologis dan kurang ilmiah. Lebih tepat beberapa karangan tersebut disebut sebagai karangan teologis atau Ilmu Kalam. Sebab biasanya dalam karangan tersebut agama-agama selain Islam diteropong atau dinilai dari agama Islam.

Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia kurang berkembang dengan baik. Adapun sebab-sebabnya antara lain sebagai berikut:

a. Kekurangan bacaan ilmiah.

b. Kekurangan kegiatan penelitian secara ilmiah.

c. Kekurangan diskusi akademis.

d. Masih rendahnya penguasaan bahasa asing dari sebagian besar para mahasiswa dan dosen, padahal hanya sedikit buku Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang membahas secara analitis.

Di samping itu ada bebrapa sebab yang bersifat fundamental, yaitu:

Pertama, pemikiran ulama di Indonesia tentang Islam lebih banyak menekankan bidang fikih yang bersifat normatif.

Kedua, setelah pemberontakan PKI, Isalam di Indonesia lebih banyak menekankan semangat dakwah, sehingga ilmu yang ditekankan ialah Ilmu Dakwah atau Missiologi.

Ketiga, karena Ilmu Perbandingan Agama lahir dari Barat sehingga menyebabkan salah sangka dan curiga di kalangan umat Islam.

Keempat, para peserta kuliah Ilmu Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu (Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Arkeologi, dsb.). Di samping itu mereka kurang menguasai bahasa asing (Ali,1998: 17-21).

Di samping itu Ilmu Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia karena kurang dana, minimnya pertemuan ilmiah, dan kurang informasi tentang Ilmu Perbandingan Agama baik mengenai isinya maupun manfaatnya bagi kerukunan hidup beragama maupun untuk integrasi bangsa Indonesia.

Manfaat Ilmu Perbandingan Agama bagi seorang Muslim.

Ilmu Perbandingan Agama mempunyai banyak manfaat bagi seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya adalah sebagai berikut:

1. Dapat memahami kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbgai umat manusia.

2. Dengan mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran ) antara agama Islam dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan di mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.

3. Dengan membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.

4. Dengan membandingkan ajaran-ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain akan memudahkan untuk memahami isi dari agama Islam itu sendiri. Bahkan dengan cara membandingkan tersebut dapat memperdalam keyakinan seorang Muslim terhadap ajaran-ajaran yang terkandung di dalam agama Islam itu sendiri, atau dapat menampakkan mutu manikam ajaran Islam yang kadang-kadang tidak disadari sebelum dibandingkan dengan agama lain.

5. Dengan mengetahui konsep-konsep ajaran agama lain seorang Muslim akan dapat belajar menemukan konsep-konsep yang mudah dicerna orang lain. Sebab sering ajaran Islam sulit difahami orang lain karena orang Islam sendiri sering mengemukakan konsep-konsep ajaran Islam yang rumit dan sulit.

6. Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi, konsep-konsep, strategi, dsb. sesuaia dengan sasarannya.

7. Pada era globalisasi ini dimana bangsa-bangsa, suku-suku, golongan-golongan, dengan lebih mudah saling bertemu dan berkomunikasi karena berbagai kepentingan, maka pengetahuan akan agama-agama lain sangat dibutuhkan. Karena dengan bertemunya macam-macam bangsa, suku dan golongan tersebut pada dasarnya juga saling bertemu agamanya. Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan moral, dsb. ( Ali, 1975: 38-41).

8. Dengan menguasai Ilmu Perbandingan Agama seorang Muslim akan lebih mudah melakukan dialog dengan pemeluk agama lain (Ali, 1993: 84).

Di samping itu dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, meneliti dan mengembangkannya, seorang Muslim dapat mengkaji agama-agama lain terutama yang berada di Barat, sehingga dengan sendirinya akan mengembangkan Occidentalisme atau pemahaman tentang budaya dan agama Barat. Sehingga seorang Muslim tidak hanya membiarkan agama Islam sebagai obyek kajian para Orientalis , tetapi juga menjadi subyek dengan mengkaji agama-agama selain Islam (terutama agama orang Barat).

Lebih dari itu Ilmu Perbandingan Agama-pun dapat dijadikan sebagai ilmu bantu atau alat untuk dakwah. Sebagaimana Ilmu Filsafat dan Logika dapat dipakai oleh para Mutakallimin untuk membela agama Islam, karena musuh-musuh Islam-pun menggunakan Ilmu Filsafat dan Logika untuk menyerang Islam, demikian juga Ilmu Perbandingan Agama dapat digunakan oleh para dai untuk berdakwah. Dalam hal ini “ilmu bukan untuk ilmu,” lebih khusus lagi “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya untuk Ilmu Perbandingan Agama,” tetapi ilmu atau lebih khusus lagi Ilmu Perbandingan Agama, untuk ibadah, khususnya ibadah dalam bidang dakwah.

Kesimpulan.

1. Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mengkaji agama-agama dengan menggunakan beberapa metode ilmiah dan dogmatis sekaligus (ilmiah-agamis, religio-scientific atau scientific-cum-doktrinair).

2. Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat lebih menguntungkan dibandingkan di Dunia Islam dan di Indonesia. Perkembangan di Barat lebih menguntungkan karena didukung oleh suasana ilmiah yang kondusif dan dana yang cukup tersedia. Perkembangan di dunia Islam dan di Indonesia kurang menguntungkan di samping kurang kondosifnya suasana ilmiah juga masih kekurangan dana.

3. Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. Mukti. Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Yogyakarta, 1975.

_______________. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung, 1993.

Connolly, Peter (terj.) Imam Khoiri. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta, 2002.

Daradjat, Zakiah (ed). Perbandingan Agama, II. Jakarta, 1992.

Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck (ed). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan). Jakarta,1990.

_______________. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta, 1992

Dhavamony, Mariasusai (terj.) A. Sudiarja et. all. Fenomenologi Agama. Yogyakarta, 1995.

Harsojo. Pengantar Antropologi. Jakarta, 1984.

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986.

Jongeneel, J.A.B. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I. Jakarta, 1978.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, I. Jakarta, 1980.

Leeuw, van der. Religion in Essence and Manifestation. New York, 1963.

Nottingham, Elizabeth K (terj.) Abdul Muis Naharong. Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta, 1985.

Otto, Rudolf. The Idea of the Holy an Inquiry the Non-Rational Faktor in the Idea of the Divine and Its Relation to the Rational. New York, 1950.

Schimmel, Annemarie (terj.) Rahmani Astuti. Rahasia Wajah Suci Ilahi. Bandung, 1996.

Waardenburg, Jacques. Classical Approaches to the Study of Religion Aims, Methods and Theories of Research, I, Introduction and Anthology. Paris, 1972.

Wach, Joachim. The Comparative Study of Religions. Columbia, 1969.

Whaling, Frank. Contemporary Approaches: to the Study of Religion. New York, 1984.